Home / Opini

Minggu, 21 Juli 2024 - 21:58 WIB

Perubahan Perilaku Pemilih, antara Pragmatisme dan Kesadaran Politik

Mursyid Sonsang

Mursyid Sonsang

Catatan Mursyid Sonsang
Wartawan Senior dan Alumni Lemhannas PPSA 18

SEBAGIAN orang menyebut pemilihan legislatif 2024 adalah pemilu paling brutal sepanjang sejarah. Para politisi yang tumbang di pileg Februari lalu tak sungkan mengumbar kekecewaannya.

Mereka wara-wiri di layar kaca atau di medsos, kompak menuding money politik penyebabnya. Mereka tak pula mengelak bahwa praktik lacur itu juga mereka lakukan, hanya saja kalah dari sisi kuantitas.

Anggaplah benar bahwa money politik di pileg sebab utama arus besar perubahan komposisi legislatif 2024. Warga sebagai pemilih adalah tokoh antagonisnya. Menerima suap yang seharusnya tabu. Para caleg yang tumbang adalah korban dan layak mendapat simpati serta rasa iba.

Lalu bagaimana dengan para caleg terpilih, apa posisi mereka dalam permainan ini? Mau tak mau kita harus mengakui bahwa sementara ini merekalah para juara.

Mereka memahami bagaimana permainan ini dimainkan. Mereka lebih update dengan “harapan” jangka pendek pemilih. Walaupun mungkin untuk jangka panjang mereka tak perlu lagi peduli.

Seorang caleg yang ikut tersisih di pileg lalu berpesan pada penerusnya, tak usahlah repot-repot mengejar prestasi, atau terlalu serius menyerap dan memperjuangkan aspirasi.

“Bekerjalah biasa-biasa saja, kumpulkan modal sebanyak-banyaknya, nanti di pemilu berikutnya cuma itu yang bisa menolong,” katanya sinis.

Ia mengaku menyesal lantaran masih menggunakan standar 2019 untuk kegiatan money politiknya. Semestinya 2024 sudah dua kali lipat dari standar 2019.

Akankah di Pilkada Serentak 27 November nanti gaya pemilih masih seperti di pileg? Siapa yang berani bayar tinggi maka ia yang akan dipilih? Atau malah akan ada fenomena baru?

Sukar menebak perubahan perilaku pemilih. Tapi dalam setiap momen elektoral mereka kian waktu kian cerdas. Mereka tak lagi mau menyanyikan lagu kecewa saat harapan mereka ditinggal pupus orang yang terpilih. Mereka lebih memilih menjadi “pemain” seperti para peserta elektoral itu. Bahkan mereka mengambil porsi lebih besar, penentu !

Hati-hati wahai para tim sukses. Apapun cerita di setiap pemilu, faktanya perilaku pemilih terus bergeser tanpa bisa diprediksi. Kejenuhan akibat seringnya momen elektoral boleh jadi penyebab dinamisnya perilaku pemilih itu.

Mereka berhenti mengharapkan kualitas pemilu karena nyatanya tak jua memberi perubahan baik pada kehidupan mereka. Masyarakat cenderung pragmatis untuk kepentingan sesaat yang lebih jelas.

Melihat fenomena pileg lalu, setidaknya ada empat faktor yang harus dimiliki kontestan. Pertama, popularitas, elektabilitas, jaringan dan logistik. Banyak contoh kontestan pemilik popularitas dan elektabilitas tinggi tapi tumbang karena tak memadainya logistik yang digelontorkan.

Pun sebaliknya pemilik logistik berlimpah, tapi ibarat membuang garam ke laut lantaran tak punya modal popularitas dan elektabilitas.

Bahkan ada yang populer, elektabilitas selalu tertinggi di setiap survei, tercitra pula sebagai orang kaya, tapi tetap tak berhasil. Ternyata ia tak punya tim sebagai jaringan yang mumpuni untuk melakukan penetrasi akhir. Semua sumber dayanya tertumpuk tak beredar.

Jadi hati-hati wahai para kontestan pilkada. Popularitas, elektabilitas, bahkan isi tas bukanlah jaminan. Terpenting selain itu adalah jaringan. Tim yang terstruktur hingga TPS. Bagaimana tim itu kemudian diorganisir dengan efektif, membuat upaya pemenangan berjalan efektif pula.

Sebab pada akhirnya saat paling krusial adalah dua menit di bilik suara. Memori mana yang paling berhasil mendorong untuk mencoblos siapa.

Di pilkada yang kontestannya lebih sedikit kecenderungan sama-sama melakukan money politik terbuka lebar. Kualitas janji dan program serta intensitas sentuhan atau doktrin tim menjadi faktor terkait yang sangat berpengaruh. ***

Share :

Baca Juga

Opini

BATU BARA: Menggugat Keadilan dan Kebijakan SDA Jambi

Opini

Belajar Ngopi (2) : Ota Lapau & Hajat Hidup Rakyat

Opini

BUNUH DIRI: Perlu Penguatan Sosial dan Mental

Opini

Dumisake Pendidikan dan Merdeka Belajar: Visi Progresif Untuk Pendidikan Inklusif

Opini

Program Inklusif Berorientasi Kesehatan Masyarakat

Opini

Panggil Kami Wartawan atau Jurnalis

Opini

Antara Masduki dan Dumisake

Opini

Menjauhi Esensi Spiritual dalam Pemberian Khutbah