Home / Opini

Senin, 15 September 2025 - 01:32 WIB

Kenapa Stockpile dan TUKS PT. SAS Harus Dihentikan, Ini Alasannya…

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik

RENCANA PT. SAS, anak perusahaan PT. RMKE, untuk membangun stockpile batu bara dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di kawasan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, sejak awal sudah menuai penolakan keras. Warga setempat gelisah, sebab yang dipertaruhkan bukan hanya kenyamanan hidup, melainkan juga kesehatan, lingkungan, dan masa depan tata ruang kota.

Persoalan ini harus dilihat secara jernih dan berdasarkan hukum. Pertama, soal tata ruang. Aur Kenali bukan kawasan industri, melainkan kawasan pemukiman, pendidikan, dan pelayanan publik. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang harus dimanfaatkan sesuai peruntukannya.

Menempatkan stockpile batu bara di tengah pemukiman jelas melanggar RTRW. Celakanya, seringkali terjadi penyelundupan pasal dalam RTRW, di mana suatu kawasan tiba-tiba dimasukkan sebagai “daerah peruntukan khusus” untuk kepentingan industri tertentu.

Modus seperti ini tidak hanya bertentangan dengan semangat penataan ruang, tetapi juga merusak legitimasi kebijakan tata ruang itu sendiri. Penelitian Sutopo (2019) menegaskan bahwa lemahnya pengawasan terhadap manipulasi tata ruang kerap melahirkan konflik antara masyarakat dan korporasi.

Baca Juga  Ratusan Sopir Angkutan Batu Bara Demo Al Haris Minta Dibuka Lagi Jalan Nasional

Kedua, ancaman pencemaran lingkungan tidak bisa diabaikan. Tumpukan batu bara menghasilkan debu yang mudah terbawa angin, sementara aktivitas bongkar muat di TUKS berpotensi menimbulkan pencemaran air sungai.

Prijono (2021) menemukan bahwa debu batu bara meningkatkan kadar partikulat berbahaya (PM10 dan PM2.5) di udara sekitar lokasi penyimpanan. Bila ini terjadi di Aur Kenali, masyarakatlah yang langsung menjadi korban.

Ketiga, dampak kesehatan. Debu batu bara erat kaitannya dengan gangguan pernapasan. Ramlall dan Singh (2019) dalam kajiannya di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa warga yang hidup dekat dengan area penyimpanan batu bara rentan mengalami ISPA, asma, bahkan penyakit paru kronis. Jika proyek ini dipaksakan, masyarakat Jambi, termasuk anak-anak dan lansia, harus menanggung risiko penyakit hanya karena ambisi perusahaan.

Keempat, gangguan kenyamanan hidup warga tidak bisa disepelekan. Aktivitas truk batu bara yang keluar-masuk, kebisingan, getaran, hingga debu beeterbangan setiap hari akan menghancurkan kualitas hidup masyarakat. WHO (2020) menegaskan bahwa polusi suara di lingkungan pemukiman menurunkan kualitas tidur dan kesehatan mental.

Baca Juga  Pemprov Jambi dan Dinamika Persoalan Batubara 2010 - 2024

Kelima, secara ekonomi, masyarakat justru dirugikan. Nilai tanah dan rumah akan merosot drastis, karena kawasan dianggap tercemar dan tidak nyaman dihuni. Alih-alih membawa keuntungan, kehadiran stockpile batu bara menurunkan kesejahteraan warga sekitar.

Keenam, batu bara dikenal rawan terbakar secara spontan (self combustion), menghasilkan asap beracun, dan dapat memicu kebakaran besar. Risiko ini bukan ancaman imajiner, melainkan nyata terhadap keselamatan warga.

Ketujuh, dari sisi ekologi sungai, TUKS akan mempercepat degradasi lingkungan. Nugroho (2022) membuktikan bahwa aktivitas industri di bantaran sungai menurunkan kualitas air, merusak habitat biota, dan mengganggu rantai makanan alami. Padahal, sungai bagi warga Jambi bukan hanya bentangan air, melainkan sumber kehidupan sehari-hari.

Kedelapan, pembangunan fasilitas yang bertentangan dengan tata ruang sering memicu konflik sosial. Warga merasa terancam, pemerintah daerah berada dalam posisi dilematis, sementara perusahaan ngotot mengejar kepentingannya. Sari (2020) menegaskan bahwa konflik akibat salah kelola ruang sering berakhir dengan perlawanan terbuka masyarakat.

Baca Juga  Dirjen Minerba Minta Angkutan Batu Bara Lewat Jalan Darat, Al Haris Tak Bergeming

Kesembilan, dari perspektif pembangunan berkelanjutan, rencana ini jelas tidak sejalan. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana ditegaskan WCED (1987) adalah keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jika aspek sosial dan lingkungan dikorbankan, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan perusakan.

Karena itu, alasan penolakan warga Aur Kenali tidak bisa dianggap emosional atau tanpa dasar. Justru inilah wujud kesadaran kolektif masyarakat untuk mempertahankan hak atas lingkungan sehat sebagaimana dijamin UUD 1945.

Pemerintah daerah semestinya berdiri bersama rakyat, menolak penyelundupan kepentingan dalam tata ruang, dan memastikan kota berkembang sesuai visi pembangunan yang berkeadilan.

Jambi tidak kekurangan lahan industri. Tetapi kita akan kehilangan banyak hal bila kawasan pemukiman dikorbankan. Maka, stockpile dan TUKS PT. SAS di Aur Kenali harus dihentikan sebelum terlambat. ***

 

Share :

Baca Juga

Opini

Merawat Identitas dan Menyatukan Komunitas: Peran Surau di Tanah Rantau – Sydney Australia

Opini

Pemimpin Muda Jambi “Punyo Selero”

Opini

Abdul Kadir Karding – Kesederhanaan Seorang Perantau dalam Istana

Opini

Irjen Pol (P) Syafril Nursal Rising Star Calon DPR RI Partai Demokrat Dapil Jambi

Opini

Bukan Romi, Lawan Berat Al Haris Justeru Fadhil

Opini

Merajut Langkah Benahi Danau Sipin sebagai Destinasi Wisata Perkotaan

Opini

Pemprov Jambi dan Dinamika Persoalan Batubara 2010 – 2024

Opini

Memperkaya Muhammadiyah, Bukan Mencari Kekayaan di Muhammadiyah