Oleh: Prof. Dr. Usman, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jambi
DALAM sistem peradilan pidana Indonesia, prosedur bukan sekadar tata cara administratif. Ia adalah fondasi moral dan konstitusional yang memastikan bahwa kekuasaan negara tidak berubah menjadi ancaman bagi warganya. Karena itulah setiap tindakan penyidik—baik penangkapan, penggeledahan, maupun penyitaan—harus tunduk sepenuhnya pada ketentuan KUHAP. Hanya dengan cara itulah keadilan dapat ditegakkan dengan sah, bermartabat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun kenyataan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Dalam sejumlah kasus, termasuk perkara yang melibatkan M, RBS, dan Radial Nur, ditemukan indikasi bahwa tindakan aparat melangkahi prosedur: penangkapan tanpa surat perintah, penggeledahan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri dan tanpa saksi, serta penyitaan yang tidak disertai dasar hukum yang sah. Jika temuan tersebut benar, maka persoalan yang muncul bukan sekadar cacat teknis penyidikan, melainkan pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum.
Hasil Tidak Pernah Boleh Menghalalkan Cara
Prinsip utama negara hukum adalah bahwa segala tindakan harus dilakukan berdasarkan prosedur yang jelas dan sah. KUHAP mengatur secara ketat syarat-syarat tindakan paksa. Karena itu, penangkapan tanpa surat perintah atau penggeledahan tanpa saksi bukanlah sekadar kekeliruan administratif, tetapi tindakan melawan hukum oleh aparat negara.
Doktrin fruit of the poisonous tree memberikan batas yang tegas: Jika sumber bukti diperoleh secara tidak sah, seluruh hasilnya menjadi tidak sah.
Maka barang bukti yang dikumpulkan melalui cara yang melanggar hukum tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuktian di pengadilan. Konsekuensinya, penetapan tersangka yang bersandar pada bukti-bukti tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.
Pelanggaran Prosedur adalah Pelanggaran Hak Asasi
Tindakan paksa negara menyentuh inti hak konstitusional warga negara. Penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan menyentuh hak atas kebebasan pribadi, privasi, rasa aman, dan kepemilikan. Semua hak ini dijamin oleh UUD 1945, UU HAM, hingga ICCPR yang telah diratifikasi Indonesia.
Ketika aparat mengabaikan izin pengadilan atau melakukan penggeledahan tanpa saksi, tindakan tersebut bukan hanya melanggar KUHAP, tetapi juga pelanggaran HAM. Diskresi yang tidak terkendali adalah bentuk nyata abuse of power—dan penyalahgunaan kekuasaan adalah musuh utama negara hukum.
Praperadilan: Benteng Konstitusional Warga Negara
Praperadilan merupakan mekanisme kontrol yang dirancang untuk memastikan bahwa tindakan aparat berjalan sesuai koridor hukum. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 21/PUU-XII/2014 sudah memperluas objek praperadilan, meliputi penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pengadilan-pengadilan negeri juga telah berulang kali menegaskan bahwa tindakan penyidik yang tidak sah menyebabkan seluruh hasil penyidikan kehilangan kekuatan hukum mengikat.
Dalam konteks ini, bila tindakan penyidik dalam kasus-kasus tertentu terbukti tidak memenuhi syarat KUHAP, maka seluruh hasil penyidikan, termasuk penetapan tersangka, harus dinyatakan batal demi hukum.
Menegakkan Hukum dengan Menjaga Martabat Kemanusiaan
Hukum tidak hanya hidup dari aturan, tetapi dari moralitas. Sebagaimana dikemukakan Lon Fuller, hukum kehilangan legitimasi moralnya bila ditegakkan melalui cara melanggar hukum. Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Ketika aparat merasa bahwa tujuan menegakkan hukum dapat membenarkan segala cara, maka negara hukum sedang kehilangan rohnya. Hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
Penutup
Kasus-kasus yang menunjukkan pelanggaran prosedur harus menjadi alarm keras bagi proses penegakan hukum di Indonesia. Kekuasaan yang tidak dibatasi hukum adalah ancaman bagi kebebasan warga negara. Prosedur bukan penghambat, tetapi pagar agar hukum tetap bermartabat.
Penegakan hukum hanya akan memiliki wibawa apabila dilakukan melalui proses yang sah, adil, dan sesuai prinsip due process of law. Tanpa itu semua, hukum akan berubah menjadi bayang-bayang formalitas—kosong tanpa jiwa, dan kehilangan kemampuannya melindungi warganya. ***















