Oleh : Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
INVESTASI yang baik adalah investasi yang menghadirkan manfaat langsung bagi masyarakat, bukan sekadar menancapkan modal lalu meninggalkan persoalan. Investasi yang sehat membuka lapangan kerja, menggerakkan ekonomi lokal, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, serta mematuhi aturan lingkungan dan sosial. Dalam kerangka ini, investasi harus menjadi alat kesejahteraan, bukan bencana sosial maupun ekologis.
Namun dalam praktiknya, investasi sering terhambat bukan semata oleh regulasi atau birokrasi, melainkan oleh perilaku sebagian oknum yang mengatasnamakan masyarakat. Hambatan ini kerap muncul dalam bentuk yang halus, bahkan terlihat “sah”, tetapi sesungguhnya bersifat transaksional dan merusak iklim usaha.
Contoh pertama dapat dilihat ketika sebuah investor hendak masuk ke suatu daerah dan sudah mengantongi izin resmi dari pemerintah. Alih-alih disambut dengan dialog konstruktif, investor justru “diwajibkan” membiayai seminar, diskusi publik, atau kegiatan deklarasi dukungan.
Biaya ini tidak pernah tercantum dalam regulasi apa pun, tetapi diposisikan seolah-olah sebagai syarat sosial agar investasi bisa berjalan aman. Jika tidak dipenuhi, ancamannya bukan selalu terang-terangan, melainkan berupa tekanan opini, penolakan, atau gangguan nonformal di lapangan.
Contoh kedua adalah praktik “dukungan berbayar”. Ada kelompok yang menyatakan diri mendukung investasi, tetapi dukungan itu bersyarat, spanduk harus dicetak oleh investor, konsumsi rapat harus ditanggung investor, bahkan honor kehadiran harus disediakan.
Dukungan semacam ini tidak lahir dari keyakinan atas manfaat investasi, melainkan dari motif ekonomi sesaat. Ketika aliran dana berhenti, dukungan pun bisa berubah menjadi penolakan.
Di sisi lain, sikap kritis yang benar justru tidak membutuhkan biaya. Misalnya, masyarakat mempertanyakan AMDAL sebuah proyek tambang atau industri.
Mereka meminta keterbukaan data, menggelar diskusi terbuka secara mandiri, menyampaikan aspirasi ke DPRD, atau menggugat melalui jalur hukum jika ada pelanggaran. Kritik seperti ini sah, bermartabat, dan justru membantu investor yang serius untuk memperbaiki tata kelola usahanya. Tidak ada permintaan uang, tidak ada negosiasi di balik layar.
Perbedaan ini menjadi sangat jelas ketika dibandingkan dampaknya. Kritik yang tulus mendorong investasi menjadi lebih berkualitas. Sebaliknya, praktik pembebanan biaya nonformal menciptakan ekonomi biaya tinggi. Investor akan memasukkan biaya “sosial” ini ke dalam perhitungan bisnis: mengurangi serapan tenaga kerja, menekan upah, atau bahkan membatalkan investasi. Dalam jangka panjang, daerah kehilangan peluang kerja, sementara masyarakat hanya memperoleh manfaat semu yang habis dalam waktu singkat.
Lebih berbahaya lagi, budaya dukungan berbayar melahirkan preseden buruk. Investor berikutnya akan datang dengan mental “siap bayar”, bukan “siap patuh aturan”. Ketika uang menjadi alat meredam kritik, maka yang tersisa hanyalah relasi kuasa yang tidak sehat antara modal dan masyarakat. Lingkungan rusak, konflik sosial meningkat, dan kepercayaan publik runtuh.
Karena itu, membangun iklim investasi yang sehat menuntut keberanian untuk berkata tegas: kritik tidak untuk diperjualbelikan, dan dukungan bukan untuk ditagih. Masyarakat harus memilih berada pada posisi terhormat sebagai pengawas kepentingan publik, bukan sebagai pihak yang membebani investor demi keuntungan sesaat. Jika tidak, investasi akan terus dianggap sebagai ancaman—padahal yang sesungguhnya menjadi bencana adalah praktik transaksional yang mengatasnamakan dukungan itu sendiri. ***















