Home / Opini

Minggu, 12 Oktober 2025 - 15:04 WIB

APBD Jambi dan Batu Bara; Etalase Gagal Faham yang Dipertontonkan

Dr. Noviardi Ferzi

Dr. Noviardi Ferzi

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik

WAJAR, ketika banyak pihak merasa resah atas anjloknya Dana Bagi Hasil (DBH) karena akan berdampaknya terhadap keuangan daerah Jambi. Namun, sebuah keresahan tak bisa dijadikan pembenaran menempatkan batu bara sebagai tumpuan utama penyelamat fiskal daerah, agar jangan kemana tulisan ini saya buat sebagai kritisi yang lebih jernih.

Pertama, menggantungkan APBD pada batu bara adalah langkah berisiko tinggi. Sektor ini sangat volatil, tergantung pada harga global, kebijakan ekspor, dan transisi energi dunia. Ketika harga naik, penerimaan memang melonjak, tetapi saat turun—seperti yang kini terjadi—APBD langsung terguncang.

Baca Juga  Klarifikasi "APBD Jambi 2025 Turun Drastis Lebih dari RP.800 Miliar"

Ketergantungan seperti ini menunjukkan lemahnya diversifikasi ekonomi daerah. Gubernur seharusnya tidak hanya “mendorong produksi” tetapi juga menyiapkan ekonomi alternatif pasca-batu bara agar Jambi tidak jatuh dalam resource trap seperti banyak daerah penghasil tambang lainnya.

Kedua, narasi yang seolah membenarkan eksploitasi besar-besaran batu bara atas nama “penopang ekonomi rakyat” terlalu menyederhanakan persoalan. Memang benar, ada puluhan ribu pekerja yang bergantung pada industri ini. Namun, mereka bekerja di sektor yang tidak berkelanjutan, seringkali tanpa jaminan sosial dan keselamatan kerja yang memadai.

Baca Juga  Kenapa Stockpile dan TUKS PT. SAS Harus Dihentikan, Ini Alasannya…

Ketika tambang berhenti, mereka kehilangan mata pencaharian tanpa perlindungan. Sementara itu, biaya sosial—kerusakan jalan, pencemaran udara dan air, konflik lahan—justru ditanggung publik melalui APBD yang sama.

Ketiga, dalam konteks Al Haris, semestinya keberanian seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa keras ia mengejar produksi tambang, tetapi seberapa tegas ia menata agar tambang itu memberi manfaat adil bagi rakyat dan lingkungan.

Pembangunan jalan khusus batu bara, misalnya, bukan sekadar urusan percepatan logistik, melainkan bagian dari tanggung jawab ekologis dan tata kelola industri yang sehat.

Akhirnya, wacana bahwa pemerintah “fokus pada gajah di pelupuk mata” justru menjadi cermin bagaimana logika pertumbuhan jangka pendek mengalahkan visi pembangunan berkelanjutan. Sumber daya alam memang anugerah, tapi menggali tanpa arah dan tanpa keseimbangan hanya akan meninggalkan lubang—secara harfiah dan fiskal.

Baca Juga  Case in Jambi ; PMK No 68 Tahun 2024 Akan Jadi Jalan Pintas Ketimpangan

APBD Jambi memang menurun, tapi solusinya bukan memperdalam ketergantungan pada batu bara. Solusinya adalah keberanian berinovasi: memperkuat industri hilir, mengembangkan ekonomi hijau, memperluas basis pajak daerah, dan mengoptimalkan digitalisasi pendapatan. Jika arah itu yang ditempuh, maka Jambi bisa berdiri kokoh bukan karena batu bara, tetapi karena kemandirian ekonominya sendiri. ***

Share :

Baca Juga

Opini

80 Tahun Indonesia: Kerja Senyap Menjaga Kedaulatan, Keadilan dan Kemanusiaan

Opini

Stockpile Batu Bara dan Kedaulatan Warga

Opini

Isu “Ada Uang Ada Suara, Ada Suara Ada Uang”

Opini

MAHASISWA BUNUH DIRI: Tekanan Akademik yang Mencekik?

Opini

SMA Titian Teras Tetap Menyala, Meski Tak Menyilaukan

Opini

Menjaga Marwah Hukum: Polisi Aktif Tak Boleh Duduki Jabatan Sipil

Opini

Belajar dari Keberagaman; Mengapa Pendidikan Multikultural Penting!

Opini

GARUDA DI DADAKU: Menjadi Saksi Sejarah di Negeri Kanguru