Home / Opini

Senin, 24 November 2025 - 10:53 WIB

Problema Ketahanan Pangan Provinsi Jambi

Dr Noviardi Ferzi

Dr Noviardi Ferzi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

KETAHANAN pangan seharusnya menjadi fondasi pembangunan Provinsi Jambi, mengingat sebagian besar masyarakatnya masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perkebunan, dan komoditas pangan lokal. Namun dalam praktiknya, kinerja Dinas Ketahanan Pangan provinsi ini kerap terjebak dalam pola kerja administratif yang tidak sepenuhnya menjawab kompleksitas persoalan lapangan.

Kerawanan pasokan cabai, beras, dan beberapa komoditas hortikultura yang hampir berulang setiap tahun menunjukkan lemahnya perencanaan berbasis data di tingkat provinsi. Kondisi ini sebenarnya selaras dengan temuan berbagai penelitian yang menekankan pentingnya sistem informasi pangan yang akurat dan responsif (Rahman et al., 2023; Wicaksono, 2021).

Kelemahan pertama dapat dilihat dari minimnya kemampuan melakukan prediksi dan respons cepat terhadap fluktuasi produksi. Di beberapa kabupaten sentra, seperti Batanghari dan Tebo, pola tanam petani sering tidak sinkron dengan kebutuhan pasar provinsi.

Di sisi lain, laporan ketersediaan pangan yang seharusnya menjadi dasar kebijakan justru lebih bersifat laporan rutin yang kurang mencerminkan dinamika nyata di lapangan. Padahal, penelitian Siregar dan Talumingan (2022) menegaskan bahwa ketahanan pangan daerah sangat bergantung pada integrasi sistem data antar-level pemerintahan. Ketika integrasi ini lemah, maka fenomena “panik harga” akan berulang, sebagaimana kerap terjadi di Jambi menjelang hari besar keagamaan.

Baca Juga  BBS Ajak Pemerintah Desa Gali Potensi Tingkatkan Ketahanan Pangan

Kelemahan berikutnya terlihat dari terbatasnya inovasi dalam penguatan cadangan pangan. Provinsi Jambi memiliki cadangan strategis pangan yang relatif kecil dibanding kebutuhan penduduknya. Selain itu, tata kelola lumbung pangan masyarakat tidak terintegrasi dengan baik sehingga keberadaannya tidak berfungsi sebagai penyangga saat produksi menurun.
Di beberapa desa, lumbung pangan bahkan hanya aktif saat program awal diluncurkan, kemudian stagnan tanpa pembinaan lanjutan. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Baskoro (2020) yang menyoroti kegagalan banyak daerah dalam memelihara keberlanjutan program lumbung pangan karena lemahnya monitoring jangka panjang.

Contoh kelemahan kinerja yang sering disorot publik adalah tidak efektifnya intervensi harga. Dinas Ketahanan Pangan kerap melakukan operasi pasar, namun pelaksanaannya tidak menyasar titik-titik kemiskinan pangan.

Di Kota Jambi, misalnya, operasi pasar lebih sering dilakukan di pusat kota dibanding wilayah pinggiran seperti Paal Merah atau Danau Sipin, sehingga tidak memberi dampak signifikan bagi rumah tangga rentan. Kondisi ini menunjukkan lemahnya pemetaan kerentanan pangan yang seharusnya menggunakan pendekatan Food Security Vulnerability Index sebagaimana direkomendasikan oleh Kementerian Pertanian (2022).

Baca Juga  Klaim Izin Clear Belum Tentu Sah, Stockpile dan TUKS Batu Bara Harus Tunduk Zonasi Perda RTRW Kota Jambi

Kelemahan lainnya muncul pada aspek koordinasi lintas OPD. Persoalan pangan sesungguhnya melibatkan Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Dinas Perkebunan, hingga Bappeda. Namun koordinasi ini sering kali hanya formalitas rapat tanpa menghasilkan sinergi kebijakan.

Akibatnya, saat produksi hortikultura turun karena serangan hama atau cuaca ekstrem, respons provinsi tidak komprehensif: Dinas Pertanian berbicara soal peningkatan produksi, Dinas Perdagangan berbicara soal pengendalian harga, sementara Dinas Ketahanan Pangan hanya menjalankan fungsi stabilisasi yang sangat terbatas. Literatur kebijakan pangan Indonesia menunjukkan bahwa fragmentasi kewenangan merupakan akar lemahnya respons daerah terhadap krisis pangan (Arianto & Fitriani, 2022).

Salah satu contoh lain yang cukup konkret adalah lemahnya pengawasan keamanan pangan segar. Beberapa kali ditemukan produk hortikultura dari luar daerah masuk ke Jambi tanpa standar keamanan yang jelas. Uji kandungan pestisida dilakukan secara terbatas karena laboratorium daerah belum berfungsi optimal sepanjang tahun. Padahal, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sejak 2022 telah memberikan pedoman penguatan food safety surveillance yang seharusnya diadopsi oleh provinsi. Ketiadaan pengawasan yang kuat ini membuka ruang meningkatnya risiko kesehatan masyarakat sebagaimana diperingatkan oleh penelitian Kaharuddin et al. (2021).

Baca Juga  Edi Purwanto Ajak Pemerintah Diskusikan Potensi 3.000 Lahan di Sungai Penuh

Akhirnya, problem ketahanan pangan di Jambi bukan semata karena faktor eksternal seperti cuaca atau harga nasional, tetapi lebih kepada lemahnya governance di tingkat provinsi—mulai dari perencanaan, koordinasi, hingga pengawasan.

Bila Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jambi tidak memperkuat data, inovasi cadangan pangan, pemetaan kerentanan, serta integrasi dengan OPD lain, maka Jambi berpotensi mengalami stagnasi dalam indeks ketahanan pangan, sebagaimana terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Reformasi kelembagaan dan peningkatan kapasitas teknis menjadi kebutuhan mendesak agar ketahanan pangan tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi perlindungan nyata bagi masyarakat. ***

Share :

Baca Juga

Opini

The Power of Wakaf

Opini

Stockpile Batu Bara dalam Zona Pertanian, Ancaman Ketahanan Pangan Presiden Prabowo di Jambi

Opini

Melihat dari Dekat “Pabrik Duit” Perum PERURI

Opini

Stockpile Batu Bara dan Kedaulatan Warga

Opini

Urgensitas Populeritas Jalan Padang Lamo: Lupa Sebelum Terkenal, Diingat Setelah Jalinsum Lumpuh?

Opini

Mahasiswa Tanah Sekudung Minta Pj Bupati Kerinci Dievaluasi atau Dicopot

Opini

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sumber Baru Pertumbuhan Ekonomi Jambi

Opini

MAHASISWA BUNUH DIRI: Tekanan Akademik yang Mencekik?