Home / Opini

Senin, 20 Oktober 2025 - 22:50 WIB

Sengkarut Hitam di Koto Boyo, Menyingkap Modus Mafia Batubara Jambi

Dr. Noviardi Ferzi

Dr. Noviardi Ferzi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik

DI TEPIAN Sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Koto Boyo, aktivitas truk batubara tak pernah benar-benar berhenti. Malam dan siang berganti, namun deru mesin dan debu hitam menjadi penanda denyut ekonomi gelap yang telah lama beroperasi di balik tambang-tambang Jambi. Di sinilah jejak para “mafia batubara” menancap kuat, membentuk jaringan rumit yang menghubungkan pengusaha, pemodal, oknum aparat, hingga pejabat lokal.

Modus utama para pemain ini berawal dari perizinan. Banyak tambang di Jambi sebenarnya berada di area dengan izin yang sudah kadaluarsa atau belum memenuhi syarat lingkungan. Namun di atas kertas, dokumen tetap “bersih” karena permainan administrasi. Beberapa lahan kebun sawit yang memiliki izin HGU disulap menjadi area tambang dengan modus kerja sama operasional, padahal itu melanggar tata ruang. Celah hukum ini jadi pintu masuk operasi ilegal yang sulit disentuh karena berlindung di balik perusahaan resmi.

Dari titik inilah rantai ekonomi gelap berjalan. Produksi batubara dilaporkan jauh di bawah realitas. Misalnya, satu pit menghasilkan 10 ribu ton, tapi yang tercatat hanya separuhnya. Sisanya dijual lewat jalur tidak resmi, menggunakan dokumen palsu atau manifes yang digandakan. Di sinilah para makelar izin, oknum pejabat lapangan, hingga aparat di tingkat bawah berperan menjaga kelancaran arus keluar batubara “siluman”.

Baca Juga  Bawaslu se-Provinsi Jambi Awasi 1.575 Kampanye dalam 42 Hari

Jalur distribusi menjadi simpul penting lain. Batubara dari Batanghari dan Sarolangun biasanya menuju pelabuhan di Tembesi, Talang Duku, atau pelabuhan darurat di pinggir sungai yang dibangun tanpa izin lengkap. Banyak dermaga “bayangan” beroperasi hanya dengan surat rekomendasi sementara. Dari pelabuhan ini, batubara langsung dikapalkan menuju luar daerah, bahkan ekspor kecil-kecilan ke Pulau Sumatera bagian selatan, tanpa melewati pengawasan Bea Cukai yang memadai.

Dalam praktiknya, truk-truk pengangkut sering memanfaatkan malam hari untuk melintasi jalur yang dilarang. Sopir hanya bermodalkan “tanda pengenal” yang diberikan oleh koordinator lapangan — istilah halus untuk pengatur jalan. Di beberapa pos, diduga mereka cukup menyetor uang Rp20.000 hingga Rp50.000 per truk agar bisa melintas tanpa pemeriksaan. Mekanisme ini telah menjadi sistem “pajak jalan gelap” yang menghidupi banyak pihak non-formal di sepanjang jalur tambang.

Ketika aparat turun tangan, biasanya hanya pekerja kecil yang dijerat. Pemilik modal utama tetap aman di balik bendera perusahaan atau jaringan politik. Beberapa kali operasi penertiban dilakukan oleh Polda Jambi dan Dinas ESDM, namun tak jarang berujung setengah jalan. Ada indikasi tekanan dari pihak-pihak tertentu, termasuk intervensi politik lokal yang memanfaatkan hasil tambang sebagai sumber dana kampanye.

Baca Juga  Anggota Komisi XIII Elpisina Tegaskan Insan dan Lembaga Penyiaran Harus Patuh pada Etika dan Hukum

Masalah lain yang tak kalah serius adalah reklamasi dan tanggung jawab lingkungan. Lubang bekas galian di kawasan Koto Boyo kini menganga seperti kubangan raksasa. Air asam tambang mencemari sungai kecil yang menjadi sumber air warga. Warga setempat mengaku sering diminta diam dengan iming-iming “kompensasi” atau pekerjaan sebagai buruh angkut. Namun setelah tambang selesai, mereka ditinggalkan dengan tanah tandus dan air keruh.

Modus lain yang kerap digunakan adalah litigasi bayangan dan intimidasi. Ketika warga atau aktivis menolak tambang ilegal, muncul laporan balik ke polisi, tuduhan pencemaran nama baik, atau sengketa kepemilikan lahan. Ini menjadi senjata untuk membungkam perlawanan. Beberapa laporan penyerobotan lahan di Batanghari dan Muaro Jambi bahkan diduga kuat melibatkan pejabat daerah yang memiliki saham di perusahaan tambang melalui nama keluarga atau kerabat.

Sumber internal di lingkungan ESDM Provinsi Jambi menyebutkan, dari sekitar 60 lebih IUP (Izin Usaha Pertambangan) aktif, sebagian besar tidak menjalankan kewajiban reklamasi dan jaminan pascatambang. “Reklamasi hanya di atas kertas, di lapangan nol,” ujarnya singkat. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor batubara jauh di bawah potensi riil. Data perbandingan antara volume ekspor dan laporan produksi menunjukkan selisih signifikan yang mengindikasikan kebocoran sistemik.

Baca Juga  Strategi Maulana – Diza Atasi Banjir, Aksi Nyata di Depan Mata

Fenomena ini menunjukkan bahwa mafia batubara bukan sekadar pelanggaran izin, melainkan struktur ekonomi gelap yang hidup dari lemahnya tata kelola. Mereka bekerja dengan disiplin yang rapi — memiliki koordinator lapangan, penghubung ke pejabat daerah, hingga jaringan logistik yang memanfaatkan celah hukum dan kekosongan pengawasan.

Kini publik menunggu keseriusan pemerintah dan penegak hukum. Pemberantasan mafia batubara bukan hanya soal menutup lubang tambang ilegal, tapi juga menutup lubang kebijakan yang selama ini memberi ruang bagi korupsi berjamaah di sektor sumber daya alam. Tanpa itu, Koto Boyo hanya akan menjadi satu dari banyak kisah di Jambi — tentang bagaimana tanah kaya bisa dijarah sedikit demi sedikit, sementara rakyatnya hanya mendapat sisa debu dari batu hitam yang tak pernah habis diekspor keluar daerah. ***

 

Share :

Baca Juga

Opini

APBD Jambi dan Batu Bara; Etalase Gagal Faham yang Dipertontonkan

Opini

MAHASISWA BUNUH DIRI: Tekanan Akademik yang Mencekik?

Opini

Stockpile Batu Bara dalam Zona Pertanian, Ancaman Ketahanan Pangan Presiden Prabowo di Jambi

Opini

Penyebab Banjir di Kerinci dan Sungai Penuh, dari Fenomena El Nino, Sedimentasi hingga Semrawutnya Pengelolaan Sampah

Opini

Meratapi ‘Detik Akhir’ Kemerdekaan Pers di Indonesia

Opini

Melihat dari Dekat “Pabrik Duit” Perum PERURI

Opini

Jambi Bersinar: Integrasi Core Values ASN BerAKHLAK dalam Upaya Pemberantasan Narkoba di Provinsi Jambi

Opini

MENGATASI KARHUTLA: Menguatkan Peran Pendidikan